Anak Tangga Ke-Enam
Jarum
panjang jam dinding menunjuk ke angka delapan, sedangkan jarum pendeknya tepat
berada di tengah – tengah antara angka dua belas dan satu. Sekitar sepuluh
menit yang lalu, dosen yang mengajar di kelas Ocha dan teman – temannya keluar
kelas. Itu berarti jam terakhir mata kuliah sudah selesai untuk hari ini. Hanya
beberapa mahasiswa yang masih betah berada di dalam kelas itu, termasuk Ocha,
sedangkan yang lainnya sudah pada ngacir setelah dosen meninggalkan kelas.
“Cha,
kamu mau langsung pulang ke kos apa mau mampir kemana dulu?” tanya Dinda.
“Mau
langsung pulang ke kos sih, tapi kok lapar ya?” balas Ocha sambil memegang
perutnya.
“Kantin
aja yuk, aku juga lapar nih. Siapa tau nanti disana kita ketemu Kenza.” sahut
Dinda lagi.
“Ih...apaan
sih?” balas Ocha sambil memasukkan tempat pensilnya ke dalam tas dan menutup
resleting tas itu.
“Cie...pake’
malu – malu lagi. Udah sono bilang sama Kenza.” ledek Dinda lagi.
“Apaan
sih? Yuk ah ke kantin, jangan ngomongin Kenza mulu, nanti kalo orangnya denger
bisa GR.” ucap Ocha sambil mencangklong tas ranselnya dan berjalan keluar.
Dinda menjajari langkahnya.
Sebenarnya
ucapan Dinda benar. Selama ini diam – diam Ocha mengagumi cowok bernama Kenza.
Dia mahasiswa jurusan seni musik di Universitas yang sama dengan Ocha. Hanya
saja jurusan dan fakultas mereka yang berbeda. Mereka bertemu saat Ocha hampir
saja terjatuh dari tangga di Aula kampus. Itu terjadi sekitar setahun yang
lalu, saat mereka sama – sama mengikuti kuliah umum pertama kalinya mereka terdaftar
sebagai mahasiswa baru di salah satu universitas negeri di Malang. Kenza yang
menolongnya saat dia kehilangan keseimbangan akibat dari berdesak – desakannya
mahasiswa yang berebut turun dari lantai dua. Memang belum sampai jatuh sih,
tapi cukup membuat kakinya ngilu karena terbentur pegangan tangga. Saat itu,
dengan sigap tubuh Kenza menyangga tubuhnya. Mungkin sebenernya nggak sengaja.
Bukan
hanya kejadian di Aula. Di perpustakaan-pun, saat Ocha hampir jatuh dari tangga
waktu turun dari lantai dua, Kenza juga yang menolongnya. Itu karena kaki Ocha
tiba – tiba tergelincir. Ntah darimana datangnya Kenza, tiba – tiba dia
nolongin Ocha. Karena itu mereka bisa berteman, dekat. Dan akhir – akhir ini
Kenza sering menghilang.
“Mau
makan apa Nda?” tanya Ocha seraya melihat – lihat menu di salah satu penjual
makanan di kantin.
“Mie
ayam aja deh. Kamu mau makan apa?” tanya Dinda balik.
“Pengen
bakso sih. Bakso aja deh. Kamu jadi mie ayam?” tanya Ocha balik. Dinda
mengangguk.
“Aku cari tempat duduk ya Cha?” tanya Dinda.
Ocha mengangguk kemudian berjalan ke arah kedai bakso sementara Dinda mencari
tempat duduk yang nyaman buat mereka. Tak lama kemudian dia menyusul Dinda.
“Nda,
aku ke toilet bentar ya? Nitip tas, kebelet nih.” ucap Ocha.
“Iya,
sono cepetan, daripada disini, suruh ngepel ntar.” balas Dinda. Ocha
melangkahkan kakinya ke toilet di dekat kantin itu.
“Eh,
kamu lihat Kak Kenza pas tadi lagi nyanyi sambil main gitar nggak? Keren banget
tau.” ucap seorang cewek saat Ocha berada di dalam salah satu kamar kecil.
“Iya
lihat. Emang dia tuh kereeeen banget. Aku mau jadi pacarnya.” sahut yang
satunya lagi. Seketika jantung Ocha berdegup sedikit melampaui batas
seharusnya. Ternyata bukan cuma dia yang mengagumi Kenza. Dua orang cewek di
luar sana juga sedang membicarakan orang yang sama.
“Eh
tapi tadi aku lihat dia lagi duduk berdua sama Kak Putri di depan kelas mereka.
Apa mereka bener – bener udah jadian? Kalo udah, nggak ada harapan donk kita?”
sahut satunya lagi. Bersamaan dengan itu, Ocha membuka pintu kemudian keluar
menuju wastafel setelah sempat sedikit melemparkan senyum ke arah mereka.
Pembicaraan
kedua cewek itu masih berlanjut meskipun salah satu dari mereka sedang berada
di dalam kamar kecil. Cepat – cepat dia membersihkan tangannya kemudian kembali
ke tempat Dinda. Belum lagi menghilang suara – suara itu, dia sudah dikejutkan
lagi dengan sesosok bernama Kenza yang sudah duduk manis bergabung dengan
Dinda. Satu lagi dia tidak mengenalnya. Mungkin itu yang namanya Putri.
“Hai
Cha.” sapa Kenza sambil melemparkan senyum manisnya.
“Hai.
Udah lama?” tanyanya balik sambil membalas senyuman Kenza. “Hai Mbak...”
lanjutnya menyapa cewek di sebelah Kenza. Yang disapa membalas dengan senyuman.
“Sekitar
lima menit yang lalu.” balas Kenza.
“Owh...berarti
aku donk yang kelamaan di toilet?” sahut Ocha.
“Iya,
makan tuh, keburu dingin.” sahut Dinda sambil menunjuk ke arah bakso yang masih
mengepulkan asap panasnya.
“Kita
nungguin kamu lho Cha.” ucap Kenza.
“Oya?
Trimakasih...” balas Ocha sambil memegang sendok dan garpu bersiap untuk
mengisi perutnya. Ternyata yang dibilang Dinda bener. Ketemu Kenza juga di
kantin, tapi tidak sendirian. Dan itu membuat Ocha pengen cepet – cepet pulang.
Di
sela – sela aktivitas makan mereka, Kenza berkali – kali melontarkan lelucon
yang membuat mereka tertawa. Ocha sendiri menanggapi lelucon itu dengan tidak
kalah lucunya. Dan itu membuahkan hasil, Dinda meliriknya penuh makna. Ocha
cuek, dia terus aja menyantap makanannya.
“Kalian
klop banget ya kalo lagi bercanda?” ucap Putri. Kenza dan Ocha saling
berpandangan. Memang sih, selama setahun mereka kenal, tiap kali ketemu,
ngobrol, bercanda, selalu aja tidak pernah kehabisan ide membuat lelucon.
“Ah,
biasa aja kok.” sahut Ocha kemudian menyuapkan bakso terakhir ke dalam
mulutnya.
“Habis
ini kemana Cha?” tanya Kenza.
“Ke
kos.” jawabnya singkat.
“Kita
jadi jalan kan Ken?” sahut Putri. Lagi – lagi Dinda memandang Ocha dengan
pandangan penuh makna. Kenza mengangguk.
“Oya,
aku duluan ya, soalnya mau ngerjain tugas sih.” ucap Ocha seraya berdiri. “Bareng
nggak Nda?” tanyanya pada Dinda. Lama – lama disana bikin Ocha nggak betah.
Mungkin dia cemburu, lebih tepatnya memang cemburu.
“Hmm...iya,
kita bareng aja.” balas Dinda.
“Eh,
kita bareng – bareng aja sekalian. Kan udah selesai.” sahut Kenza. “Yuk...” ajaknya
lagi seraya berdiri. Putri mengikutinya berdiri. Kemudian mereka berempat
keluar dari kantin itu. Tanpa basa – basi, Ocha langsung bergegas menuju
kosnya. Bahkan saat Kenza mencoba meledeknya, dia hanya tersenyum kemudian
melambaikan tangannya. Seseorang tersenyum penuh arti melihat tingkah Ocha.
Menyambut
dies natalis universitas, berbagai acara digelar selama seminggu penuh. Mulai
dari baksos, lomba fashion show yang diadakan oleh jurusan tata rias, bazar
kulinari, pokoknya banyak banget acaranya. Dan, acara yang tidak pernah
ketinggalan, yaitu pentas seni yang rencananya diletakkan di hari terakhir
sebagai acara penutup. Kegiatan inilah yang membuat mahasiswanya bisa lebih
mengenal satu sama lain, karena semuanya terlibat. Tidak ketinggalan Ocha dan
Dinda. Mereka berdua sama – sama bekerja di hari terakhir.
“Cha,
aku ke bawah duluan ya?” ucap Dinda sambil menyahut jas almamaternya. “Soalnya
udah ditungguin sama Nika dan Tere.” lanjutnya lagi.
“Iya,
ntar aku nyusul, soalnya ini masih nyatet pengeluaran yang hari ini.” balas
Ocha. Meskipun sama – sama kebagian hari terakhir, tugas mereka berbeda.
Usai
menyelesaikan laporan dan merapikan seluruh peralatan kemudian memasukkannya ke
dalam tas, dia bergegas mencangklong tas ranselnya kemudian keluar ruangan dan
turun, bergabung dengan teman – temannya. Setengah berlari dia keluar kelas,
buru – buru menuruni anak tangga. Badannya terasa capek, tapi dia tidak mau
bermalas – malasan lagi kalo mau segera selesai dan tidak membuat teman –
temannya menunggu. Apalagi hari ini Kenza rencananya juga mau tampil di pentas
seni itu. Dia pengen sekali melihat penampilan Kenza. Tapi karena
kecerobohannya, tali sepatu yang tanpa sepengetahuannya lepas, terinjak oleh
kaki yang satunya, akibatnya dia tersungkur saat menuruni anak tangga.
Dan...seseorang menangkap tubuhnya.
“Selalu
bermasalah dengan tangga ya?” ucap orang yang menolongnya itu. Kenza lagi yang
dilihatnya.
“Dan
kenapa selalu ada kamu pas aku jatuh dari tangga?” ucap Ocha kemudian nyengir
dan duduk di anak tangga terakhir, menenangkan degup jantungnya akibat hampir
saja jatuh.
“Karena...akulah
penunggu tangga.” canda Kenza.
“Pantesan
aku sial mulu, hahaha...” balas Ocha diiringi tawa renyahnya. “Hmm...ngomong -
ngomong, makasih ya udah nolongin aku.” lanjutnya lagi.
“Iya,
lain kali hati – hati, biar nggak jatuh.” ucap Kenza kemudian duduk tepat di
depan Ocha. “Ini yang hampir saja membuatmu celaka.” lanjutnya sambil memegang
tali sepatu Ocha dan menalikannya. Ocha kaget untuk kedua kalinya. Nggak
nyangka aja Kenza menalikan tali sepatunya. “Udah, yuk. Jangan bengong mulu.”
ajak Kenza sambil mengulurkan tangannya. Ocha menyambutnya kemudian berdiri.
Mereka berjalan beriringan tapi tanpa bergandengan tangan. Sesuatu menelusup
hangat di hati Ocha.
Dan,
inilah saat yang paling ditunggu Ocha. Apalagi kalo bukan melihat penampilan
Kenza di panggung. Suara – suara riuh yang sedari tadi menggema kini bertambah
menggema lagi. Memang sih, dikalangan jurusan seni musik, Kenza salah satu
mahasiswa yang tidak diragukan lagi suara dan kualitas permainan alat musiknya.
Biola, gitar dan piano bukan lagi hal yang sulit untuk dimainkannya. Ditambah
lagi suaranya yang tidak kalah dengan penyanyi terkenal.
“Hai...”
sapa seorang cewek tiba – tiba. Ocha menoleh ke arah suara itu.
“Hai
juga.” balasnya canggung. Cewek itu yang paling tidak ingin ditemuinya saat
ini. Ya, siapa lagi kalo bukan Putri. Cewek cantik yang menurut Ocha, mungkin
sekarang jadi pacarnya Kenza.
Ocha
tersenyum kemudian mengalihkan pandangannya lagi ke panggung. Pembawa acara
menyebutkan nama Kenza. Yang dipanggil keluar. Senyum yang khas menghiasi wajah
Kenza. Tepuk tangan terdengar riuh disana, sementara rasa canggung menyelimuti
hati Ocha. “Kamu suka sama Kenza?” Putri membisikkan kata itu di telinga Ocha.
Ocha menoleh dan menatapnya.
“Nggak.”
balas Ocha sambil tersenyum, lebih tepatnya berusaha tersenyum setelah berfikir
beberapa saat. Jelas aja, apa yang keluar dari mulut dengan kata hati berbeda.
Keduanya terdiam menyelami pikiran masing – masing. Sementara di atas panggung
sana MC dan Kenza mulai cuap - cuap.
“Baiklah,
sebelum kamu memetik gitar ini, kita mau tanya nih, apa harapan kamu untuk
kampus kita di hari ulang tahunnya ini?” kali ini ganti MC cowok yang bertanya.
“Ya,
terimakasih. Harapan saya untuk kampus kita ini, semoga kampus kita bisa
menjadi kampus yang lebih baik lagi, tidak kalah dengan kampus unggulan lainnya
dalam meraih prestasi. Amien...” jawab Kenza.
“Oke,
pertanyaan terakhir. Lagu yang akan kamu bawakan ini buat siapa?” ganti MC
cewek yang bertanya dengan riang. Kenza lagi – lagi tersenyum.
“Hmm...tentunya
lagu ini buat kita semua dan kampus kita.” jawab Kenza. “Dan...buat seseorang
yang selama ini menemani hari – hari saya dengan penuh keceriaan.” lanjutnya
lagi. Pandangan mata Kenza tertuju pada cewek diantara penonton. Pandangan
mereka bertemu. Keduanya tersenyum diantara riuh penonton.
“Owh...Baiklah
langsung aja kita saksikan penampilan dari Kenza Raditya. Semoga kita semua
terhibur.” ucap kedua MC itu bersamaan. Tepuk tangan penonton terdengar riuh
membahana bersamaan dengan detak jantung Ocha. Rasa hangat mulai mejalar dalam
hatinya lagi.
Beberapa
saat setelah penampilan Kenza usai, tiba – tiba Putri mencengkram tangan Ocha.
“Ayo ikut aku.” ucap Putri setengah memerintah.
“Eh,
mau kemana?” tanya Ocha dongkol tapi Putri tetap saja menariknya. Beberapa
orang memandang heran ke arah mereka berdua. “Oke, aku ikut kamu, tapi nggak
usah menarikku seperti itu. Aku bisa jalan sendiri.” ucap Ocha, tapi Putri
tidak peduli. Dia bahkan sengaja mempercepat langkahnya. Tangannya masih
mencengkram tangan Ocha. Kini mereka berdua semakin menjauh dari keramaian.
Perasaan Ocha jadi tidak enak.
Ocha
tau jalan itu menuju mana. Dua alternatif, kalo nggak ke aula pasti ke gudang.
Sepertinya tidak mungkin Putri membawanya ke aula. Ocha bergidik. Masa’ sih
cewek secantik Putri akan membuat perhitungan dengannya hanya demi seorang
Kenza? Jangan – jangan dia akan mengurung Ocha di gudang yang konon ada banyak
penghuninya, seperti tikus, kecoak, laba – laba, nyamuk dan serentetan makhluk
menjijikkan lainnya karena gudang itu sudah tidak terpakai.
Dan
ternyata dugaan Ocha salah. bukan gudang tujuan mereka, tapi aula. Putri
membawanya masuk. “Kamu tunggu disini ya? Jangan kemana – mana!” perintah
Putri.
“Nggak!”
balas Ocha kemudian melangkah. Lagi – lagi Putri menahan tangannya.
“Kamu
harus disini kalo mau selamat!” bentak Putri. “Inget kata – kataku! Tunggu
sampe’ aku balik kesini!” lanjutnya lagi. Karena malas berdebat, Ocha akhirnya
pasrah. Membiarkan Putri meninggalkan dirinya di aula yang luas nan sepi itu
sendirian. Untung Putri nggak mengikatnya.
Sepeninggal
Putri, Ocha mengamati ruangan itu. Pikirannya berkecamuk antara negatif dan
positif. Dibenamkan wajahnya itu di atas tangannya yang di letakkan di meja
yang menyatu dengan kursi yang ia duduki. Tiba – tiba...
Mungkinkah kau tau...Rasa cinta yang kini membara...
Yang masih tersimpan dalam lubuk jiwaku...
Ingin kunyatakan lewat kata yang mesra untukmu
Namunku tak kuasa untuk melakukannya...
Ocha
mendongak, berjalan mencari – cari sumber suara itu. Suara yang dikenalnya tapi
diragukannya. Sementara seseorang terus melanjutkan lirik lagu itu diiringi
permainan gitarnya.
Mungkin hanya lewat lagu ini...
Akan kunyatakan rasa...
Cintaku padamu, rinduku padamu tak bertepi...
Mata
Ocha tertuju pada sesosok cowok di anak tangga ke enam yang menghubungkan
lantai satu dengan lantai dua aula. Dia meragukan penglihatannya sendiri. Cowok
yang duduk di anak tangga ke enam itu Kenza. Tempat yang sama, anak tangga yang
hampir membuatnya jatuh setahun yang lalu.
Mungkin hanya...sebuah lagu ini...
Yang slalu akan kunyanyikan...
Sebagai tanda betapa aku inginkan kamu...
Kenza
menghentikan permainan gitar dan lagunya. “Kamu inget nggak, dimana pertama
kali kita ketemu?” tanya Kenza yang tetap duduk di tempatnya. Ocha mengangguk.
“Kenapa
emangnya?” tanyanya.
“Kalo
setiap kamu berjalan melewati anak tangga, selalu membuatmu hampir jatuh, aku
justru sudah terjatuh.” Balas Kenza. Ocha terdiam, berusaha mencerna kata –
kata Kenza dan mengaitkannya dengan “Laguku”
milik Ungu yang baru saja dinyanyikannya itu. “Di anak tangga ke enam ini, aku
jatuh cinta pada cewek yang menurutku unik.” lanjutnya lagi kemudian berdiri
melangkah menuruni anak tangga mendekati Ocha.
“Maksudnya
apa?” hanya kata – kata itu yang berhasil keluar dari mulutnya. Jantungnya
berdegup kencang.
“Huh,
dasar cewek lemot!” ucap Kenza sambil mengacak rambut Ocha. “Aku jatuh cinta
sama kamu Cha.” lanjutnya lagi. Nada suaranya bergetar. Dia gugup karna pertama
kalinya. Ocha masih terpaku mendengar kata – kata Kenza.
“Benarkah?
Lalu gimana dengan Putri?” tanya Ocha lagi.
“Sory
ya, aku nggak mau ganggu sih, cuma mau bilang ke kamu Cha. Aku dan Kenza itu teman
sejak SD. Jadi, ogah aku sama Kenza.” ucap Putri yang tiba – tiba nongol.
“Lalu...?”
“Lalu
apa? Lalu lintas?” sahut Putri sebelum Ocha sempat menyelesaikan kalimatnya.
“Yang kemarin – kemarin itu cuma pengen tau perasaan kamu kalo Kenza dekat sama
cewek lain. Ini murni ide Kenza lho. Aku cuma peran pembantu aja. Maaf ya yang
tadi itu hanya akting, habisnya kamu nggak ngaku sih kalo kamu juga sebenarnya
suka kan sama Kenza, jadi ya terpaksa aku seret kamu ke tempat ini.
Oke...selamat melanjutkan aktivitas kalian.” lanjut Putri kemudian pergi gitu
aja meninggalkan mereka berdua. Keduanya kemudian berpandangan.
“Jadi...?”
tanya Kenza.
“Kenapa
harus pake’ cara kaya’ gini?” tanya Ocha.
“Karena
kamu lemot.” jawab Kenza. Ocha meninju lengan Kenza.
“Salahnya
nggak bilang. Pake’ acara manas – manasin lagi. Emang aku kompor?” protes Ocha
sambil manyun.
“Jadi,
mau nggak jadi pacarku?” tanya Kenza lagi.
“Nggak
mau nolak.” jawab Ocha. Sedetik kemudian Kenza meraih dan menggenggam tangan
Ocha.
“Hahaha...”
keduanya tertawa renyah.
END