Jumat, 02 Agustus 2013

anak tangga ke-enam

Anak Tangga Ke-Enam
Jarum panjang jam dinding menunjuk ke angka delapan, sedangkan jarum pendeknya tepat berada di tengah – tengah antara angka dua belas dan satu. Sekitar sepuluh menit yang lalu, dosen yang mengajar di kelas Ocha dan teman – temannya keluar kelas. Itu berarti jam terakhir mata kuliah sudah selesai untuk hari ini. Hanya beberapa mahasiswa yang masih betah berada di dalam kelas itu, termasuk Ocha, sedangkan yang lainnya sudah pada ngacir setelah dosen meninggalkan kelas.
“Cha, kamu mau langsung pulang ke kos apa mau mampir kemana dulu?” tanya Dinda.
“Mau langsung pulang ke kos sih, tapi kok lapar ya?” balas Ocha sambil memegang perutnya.
“Kantin aja yuk, aku juga lapar nih. Siapa tau nanti disana kita ketemu Kenza.” sahut Dinda lagi.
“Ih...apaan sih?” balas Ocha sambil memasukkan tempat pensilnya ke dalam tas dan menutup resleting tas itu.
“Cie...pake’ malu – malu lagi. Udah sono bilang sama Kenza.” ledek Dinda lagi.
“Apaan sih? Yuk ah ke kantin, jangan ngomongin Kenza mulu, nanti kalo orangnya denger bisa GR.” ucap Ocha sambil mencangklong tas ranselnya dan berjalan keluar. Dinda menjajari langkahnya.
Sebenarnya ucapan Dinda benar. Selama ini diam – diam Ocha mengagumi cowok bernama Kenza. Dia mahasiswa jurusan seni musik di Universitas yang sama dengan Ocha. Hanya saja jurusan dan fakultas mereka yang berbeda. Mereka bertemu saat Ocha hampir saja terjatuh dari tangga di Aula kampus. Itu terjadi sekitar setahun yang lalu, saat mereka sama – sama mengikuti kuliah umum pertama kalinya mereka terdaftar sebagai mahasiswa baru di salah satu universitas negeri di Malang. Kenza yang menolongnya saat dia kehilangan keseimbangan akibat dari berdesak – desakannya mahasiswa yang berebut turun dari lantai dua. Memang belum sampai jatuh sih, tapi cukup membuat kakinya ngilu karena terbentur pegangan tangga. Saat itu, dengan sigap tubuh Kenza menyangga tubuhnya. Mungkin sebenernya nggak sengaja.
Bukan hanya kejadian di Aula. Di perpustakaan-pun, saat Ocha hampir jatuh dari tangga waktu turun dari lantai dua, Kenza juga yang menolongnya. Itu karena kaki Ocha tiba – tiba tergelincir. Ntah darimana datangnya Kenza, tiba – tiba dia nolongin Ocha. Karena itu mereka bisa berteman, dekat. Dan akhir – akhir ini Kenza sering menghilang.
“Mau makan apa Nda?” tanya Ocha seraya melihat – lihat menu di salah satu penjual makanan di kantin.
“Mie ayam aja deh. Kamu mau makan apa?” tanya Dinda balik.
“Pengen bakso sih. Bakso aja deh. Kamu jadi mie ayam?” tanya Ocha balik. Dinda mengangguk.
 “Aku cari tempat duduk ya Cha?” tanya Dinda. Ocha mengangguk kemudian berjalan ke arah kedai bakso sementara Dinda mencari tempat duduk yang nyaman buat mereka. Tak lama kemudian dia menyusul Dinda.
“Nda, aku ke toilet bentar ya? Nitip tas, kebelet nih.” ucap Ocha.
“Iya, sono cepetan, daripada disini, suruh ngepel ntar.” balas Dinda. Ocha melangkahkan kakinya ke toilet di dekat kantin itu.
“Eh, kamu lihat Kak Kenza pas tadi lagi nyanyi sambil main gitar nggak? Keren banget tau.” ucap seorang cewek saat Ocha berada di dalam salah satu kamar kecil.
“Iya lihat. Emang dia tuh kereeeen banget. Aku mau jadi pacarnya.” sahut yang satunya lagi. Seketika jantung Ocha berdegup sedikit melampaui batas seharusnya. Ternyata bukan cuma dia yang mengagumi Kenza. Dua orang cewek di luar sana juga sedang membicarakan orang yang sama.
“Eh tapi tadi aku lihat dia lagi duduk berdua sama Kak Putri di depan kelas mereka. Apa mereka bener – bener udah jadian? Kalo udah, nggak ada harapan donk kita?” sahut satunya lagi. Bersamaan dengan itu, Ocha membuka pintu kemudian keluar menuju wastafel setelah sempat sedikit melemparkan senyum ke arah mereka.
Pembicaraan kedua cewek itu masih berlanjut meskipun salah satu dari mereka sedang berada di dalam kamar kecil. Cepat – cepat dia membersihkan tangannya kemudian kembali ke tempat Dinda. Belum lagi menghilang suara – suara itu, dia sudah dikejutkan lagi dengan sesosok bernama Kenza yang sudah duduk manis bergabung dengan Dinda. Satu lagi dia tidak mengenalnya. Mungkin itu yang namanya Putri.
“Hai Cha.” sapa Kenza sambil melemparkan senyum manisnya.
“Hai. Udah lama?” tanyanya balik sambil membalas senyuman Kenza. “Hai Mbak...” lanjutnya menyapa cewek di sebelah Kenza. Yang disapa membalas dengan senyuman.
“Sekitar lima menit yang lalu.” balas Kenza.
“Owh...berarti aku donk yang kelamaan di toilet?” sahut Ocha.
“Iya, makan tuh, keburu dingin.” sahut Dinda sambil menunjuk ke arah bakso yang masih mengepulkan asap panasnya.
“Kita nungguin kamu lho Cha.” ucap Kenza.
“Oya? Trimakasih...” balas Ocha sambil memegang sendok dan garpu bersiap untuk mengisi perutnya. Ternyata yang dibilang Dinda bener. Ketemu Kenza juga di kantin, tapi tidak sendirian. Dan itu membuat Ocha pengen cepet – cepet pulang.
Di sela – sela aktivitas makan mereka, Kenza berkali – kali melontarkan lelucon yang membuat mereka tertawa. Ocha sendiri menanggapi lelucon itu dengan tidak kalah lucunya. Dan itu membuahkan hasil, Dinda meliriknya penuh makna. Ocha cuek, dia terus aja menyantap makanannya.
“Kalian klop banget ya kalo lagi bercanda?” ucap Putri. Kenza dan Ocha saling berpandangan. Memang sih, selama setahun mereka kenal, tiap kali ketemu, ngobrol, bercanda, selalu aja tidak pernah kehabisan ide membuat lelucon.
“Ah, biasa aja kok.” sahut Ocha kemudian menyuapkan bakso terakhir ke dalam mulutnya.
“Habis ini kemana Cha?” tanya Kenza.
“Ke kos.” jawabnya singkat.
“Kita jadi jalan kan Ken?” sahut Putri. Lagi – lagi Dinda memandang Ocha dengan pandangan penuh makna. Kenza mengangguk.
“Oya, aku duluan ya, soalnya mau ngerjain tugas sih.” ucap Ocha seraya berdiri. “Bareng nggak Nda?” tanyanya pada Dinda. Lama – lama disana bikin Ocha nggak betah. Mungkin dia cemburu, lebih tepatnya memang cemburu.
“Hmm...iya, kita bareng aja.” balas Dinda.
“Eh, kita bareng – bareng aja sekalian. Kan udah selesai.” sahut Kenza. “Yuk...” ajaknya lagi seraya berdiri. Putri mengikutinya berdiri. Kemudian mereka berempat keluar dari kantin itu. Tanpa basa – basi, Ocha langsung bergegas menuju kosnya. Bahkan saat Kenza mencoba meledeknya, dia hanya tersenyum kemudian melambaikan tangannya. Seseorang tersenyum penuh arti melihat tingkah Ocha.
                                                            š
Menyambut dies natalis universitas, berbagai acara digelar selama seminggu penuh. Mulai dari baksos, lomba fashion show yang diadakan oleh jurusan tata rias, bazar kulinari, pokoknya banyak banget acaranya. Dan, acara yang tidak pernah ketinggalan, yaitu pentas seni yang rencananya diletakkan di hari terakhir sebagai acara penutup. Kegiatan inilah yang membuat mahasiswanya bisa lebih mengenal satu sama lain, karena semuanya terlibat. Tidak ketinggalan Ocha dan Dinda. Mereka berdua sama – sama bekerja di hari terakhir.
“Cha, aku ke bawah duluan ya?” ucap Dinda sambil menyahut jas almamaternya. “Soalnya udah ditungguin sama Nika dan Tere.” lanjutnya lagi.
“Iya, ntar aku nyusul, soalnya ini masih nyatet pengeluaran yang hari ini.” balas Ocha. Meskipun sama – sama kebagian hari terakhir, tugas mereka berbeda.
Usai menyelesaikan laporan dan merapikan seluruh peralatan kemudian memasukkannya ke dalam tas, dia bergegas mencangklong tas ranselnya kemudian keluar ruangan dan turun, bergabung dengan teman – temannya. Setengah berlari dia keluar kelas, buru – buru menuruni anak tangga. Badannya terasa capek, tapi dia tidak mau bermalas – malasan lagi kalo mau segera selesai dan tidak membuat teman – temannya menunggu. Apalagi hari ini Kenza rencananya juga mau tampil di pentas seni itu. Dia pengen sekali melihat penampilan Kenza. Tapi karena kecerobohannya, tali sepatu yang tanpa sepengetahuannya lepas, terinjak oleh kaki yang satunya, akibatnya dia tersungkur saat menuruni anak tangga. Dan...seseorang menangkap tubuhnya.
“Selalu bermasalah dengan tangga ya?” ucap orang yang menolongnya itu. Kenza lagi yang dilihatnya.
“Dan kenapa selalu ada kamu pas aku jatuh dari tangga?” ucap Ocha kemudian nyengir dan duduk di anak tangga terakhir, menenangkan degup jantungnya akibat hampir saja jatuh.
“Karena...akulah penunggu tangga.” canda Kenza.
“Pantesan aku sial mulu, hahaha...” balas Ocha diiringi tawa renyahnya. “Hmm...ngomong - ngomong, makasih ya udah nolongin aku.” lanjutnya lagi.
“Iya, lain kali hati – hati, biar nggak jatuh.” ucap Kenza kemudian duduk tepat di depan Ocha. “Ini yang hampir saja membuatmu celaka.” lanjutnya sambil memegang tali sepatu Ocha dan menalikannya. Ocha kaget untuk kedua kalinya. Nggak nyangka aja Kenza menalikan tali sepatunya. “Udah, yuk. Jangan bengong mulu.” ajak Kenza sambil mengulurkan tangannya. Ocha menyambutnya kemudian berdiri. Mereka berjalan beriringan tapi tanpa bergandengan tangan. Sesuatu menelusup hangat di hati Ocha.
                                                            š
Dan, inilah saat yang paling ditunggu Ocha. Apalagi kalo bukan melihat penampilan Kenza di panggung. Suara – suara riuh yang sedari tadi menggema kini bertambah menggema lagi. Memang sih, dikalangan jurusan seni musik, Kenza salah satu mahasiswa yang tidak diragukan lagi suara dan kualitas permainan alat musiknya. Biola, gitar dan piano bukan lagi hal yang sulit untuk dimainkannya. Ditambah lagi suaranya yang tidak kalah dengan penyanyi terkenal.
“Hai...” sapa seorang cewek tiba – tiba. Ocha menoleh ke arah suara itu.
“Hai juga.” balasnya canggung. Cewek itu yang paling tidak ingin ditemuinya saat ini. Ya, siapa lagi kalo bukan Putri. Cewek cantik yang menurut Ocha, mungkin sekarang jadi pacarnya Kenza.
Ocha tersenyum kemudian mengalihkan pandangannya lagi ke panggung. Pembawa acara menyebutkan nama Kenza. Yang dipanggil keluar. Senyum yang khas menghiasi wajah Kenza. Tepuk tangan terdengar riuh disana, sementara rasa canggung menyelimuti hati Ocha. “Kamu suka sama Kenza?” Putri membisikkan kata itu di telinga Ocha. Ocha menoleh dan menatapnya.
“Nggak.” balas Ocha sambil tersenyum, lebih tepatnya berusaha tersenyum setelah berfikir beberapa saat. Jelas aja, apa yang keluar dari mulut dengan kata hati berbeda. Keduanya terdiam menyelami pikiran masing – masing. Sementara di atas panggung sana MC dan Kenza mulai cuap - cuap.
“Baiklah, sebelum kamu memetik gitar ini, kita mau tanya nih, apa harapan kamu untuk kampus kita di hari ulang tahunnya ini?” kali ini ganti MC cowok yang bertanya.
“Ya, terimakasih. Harapan saya untuk kampus kita ini, semoga kampus kita bisa menjadi kampus yang lebih baik lagi, tidak kalah dengan kampus unggulan lainnya dalam meraih prestasi. Amien...” jawab Kenza.
“Oke, pertanyaan terakhir. Lagu yang akan kamu bawakan ini buat siapa?” ganti MC cewek yang bertanya dengan riang. Kenza lagi – lagi tersenyum.
“Hmm...tentunya lagu ini buat kita semua dan kampus kita.” jawab Kenza. “Dan...buat seseorang yang selama ini menemani hari – hari saya dengan penuh keceriaan.” lanjutnya lagi. Pandangan mata Kenza tertuju pada cewek diantara penonton. Pandangan mereka bertemu. Keduanya tersenyum diantara riuh penonton.
“Owh...Baiklah langsung aja kita saksikan penampilan dari Kenza Raditya. Semoga kita semua terhibur.” ucap kedua MC itu bersamaan. Tepuk tangan penonton terdengar riuh membahana bersamaan dengan detak jantung Ocha. Rasa hangat mulai mejalar dalam hatinya lagi.
Beberapa saat setelah penampilan Kenza usai, tiba – tiba Putri mencengkram tangan Ocha. “Ayo ikut aku.” ucap Putri setengah memerintah.
“Eh, mau kemana?” tanya Ocha dongkol tapi Putri tetap saja menariknya. Beberapa orang memandang heran ke arah mereka berdua. “Oke, aku ikut kamu, tapi nggak usah menarikku seperti itu. Aku bisa jalan sendiri.” ucap Ocha, tapi Putri tidak peduli. Dia bahkan sengaja mempercepat langkahnya. Tangannya masih mencengkram tangan Ocha. Kini mereka berdua semakin menjauh dari keramaian. Perasaan Ocha jadi tidak enak.
Ocha tau jalan itu menuju mana. Dua alternatif, kalo nggak ke aula pasti ke gudang. Sepertinya tidak mungkin Putri membawanya ke aula. Ocha bergidik. Masa’ sih cewek secantik Putri akan membuat perhitungan dengannya hanya demi seorang Kenza? Jangan – jangan dia akan mengurung Ocha di gudang yang konon ada banyak penghuninya, seperti tikus, kecoak, laba – laba, nyamuk dan serentetan makhluk menjijikkan lainnya karena gudang itu sudah tidak terpakai.
Dan ternyata dugaan Ocha salah. bukan gudang tujuan mereka, tapi aula. Putri membawanya masuk. “Kamu tunggu disini ya? Jangan kemana – mana!” perintah Putri.
“Nggak!” balas Ocha kemudian melangkah. Lagi – lagi Putri menahan tangannya.
“Kamu harus disini kalo mau selamat!” bentak Putri. “Inget kata – kataku! Tunggu sampe’ aku balik kesini!” lanjutnya lagi. Karena malas berdebat, Ocha akhirnya pasrah. Membiarkan Putri meninggalkan dirinya di aula yang luas nan sepi itu sendirian. Untung Putri nggak mengikatnya.
Sepeninggal Putri, Ocha mengamati ruangan itu. Pikirannya berkecamuk antara negatif dan positif. Dibenamkan wajahnya itu di atas tangannya yang di letakkan di meja yang menyatu dengan kursi yang ia duduki. Tiba – tiba...
Mungkinkah kau tau...Rasa cinta yang kini membara...
Yang masih tersimpan dalam lubuk jiwaku...
Ingin kunyatakan lewat kata yang mesra untukmu
Namunku tak kuasa untuk melakukannya...
Ocha mendongak, berjalan mencari – cari sumber suara itu. Suara yang dikenalnya tapi diragukannya. Sementara seseorang terus melanjutkan lirik lagu itu diiringi permainan gitarnya.
Mungkin hanya lewat lagu ini...
Akan kunyatakan rasa...
Cintaku padamu, rinduku padamu tak bertepi...
Mata Ocha tertuju pada sesosok cowok di anak tangga ke enam yang menghubungkan lantai satu dengan lantai dua aula. Dia meragukan penglihatannya sendiri. Cowok yang duduk di anak tangga ke enam itu Kenza. Tempat yang sama, anak tangga yang hampir membuatnya jatuh setahun yang lalu.
Mungkin hanya...sebuah lagu ini...
Yang slalu akan kunyanyikan...
Sebagai tanda betapa aku inginkan kamu...
Kenza menghentikan permainan gitar dan lagunya. “Kamu inget nggak, dimana pertama kali kita ketemu?” tanya Kenza yang tetap duduk di tempatnya. Ocha mengangguk.
“Kenapa emangnya?” tanyanya.
“Kalo setiap kamu berjalan melewati anak tangga, selalu membuatmu hampir jatuh, aku justru sudah terjatuh.” Balas Kenza. Ocha terdiam, berusaha mencerna kata – kata Kenza dan mengaitkannya dengan “Laguku” milik Ungu yang baru saja dinyanyikannya itu. “Di anak tangga ke enam ini, aku jatuh cinta pada cewek yang menurutku unik.” lanjutnya lagi kemudian berdiri melangkah menuruni anak tangga mendekati Ocha.
“Maksudnya apa?” hanya kata – kata itu yang berhasil keluar dari mulutnya. Jantungnya berdegup kencang.
“Huh, dasar cewek lemot!” ucap Kenza sambil mengacak rambut Ocha. “Aku jatuh cinta sama kamu Cha.” lanjutnya lagi. Nada suaranya bergetar. Dia gugup karna pertama kalinya. Ocha masih terpaku mendengar kata – kata Kenza.
“Benarkah? Lalu gimana dengan Putri?” tanya Ocha lagi.
“Sory ya, aku nggak mau ganggu sih, cuma mau bilang ke kamu Cha. Aku dan Kenza itu teman sejak SD. Jadi, ogah aku sama Kenza.” ucap Putri yang tiba – tiba nongol.
“Lalu...?”
“Lalu apa? Lalu lintas?” sahut Putri sebelum Ocha sempat menyelesaikan kalimatnya. “Yang kemarin – kemarin itu cuma pengen tau perasaan kamu kalo Kenza dekat sama cewek lain. Ini murni ide Kenza lho. Aku cuma peran pembantu aja. Maaf ya yang tadi itu hanya akting, habisnya kamu nggak ngaku sih kalo kamu juga sebenarnya suka kan sama Kenza, jadi ya terpaksa aku seret kamu ke tempat ini. Oke...selamat melanjutkan aktivitas kalian.” lanjut Putri kemudian pergi gitu aja meninggalkan mereka berdua. Keduanya kemudian berpandangan.
“Jadi...?” tanya Kenza.
“Kenapa harus pake’ cara kaya’ gini?” tanya Ocha.
“Karena kamu lemot.” jawab Kenza. Ocha meninju lengan Kenza.
“Salahnya nggak bilang. Pake’ acara manas – manasin lagi. Emang aku kompor?” protes Ocha sambil manyun.
“Jadi, mau nggak jadi pacarku?” tanya Kenza lagi.
“Nggak mau nolak.” jawab Ocha. Sedetik kemudian Kenza meraih dan menggenggam tangan Ocha.
“Hahaha...” keduanya tertawa renyah.
                                                            šEND